Kamis, 22 Desember 2011

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN DALAM MASYARAKAT BERBANGSA DAN BERNEGARA


PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN DALAM
MASYARAKAT BERBANGSA DAN BERNEGARA

A. Pengertian Paradigma
Istilah paradigma pada awalnya berkembang dalam filsafat ilmu
pengetahuan. Secara terminologis tokoh yang mengembangkan istilah tersebut
dalam dunia ilmu pengetahuan adalah Thomas S. Khun dalam bukunya yang
berjudul “The Structure Of Scientific Revolution”, paradigma adalah suatu
asumsi-asumsi dasar dan teoritis yang umum (merupakan suatu sumber nilai)
sehingga merupakan suatu sumber hukum, metode serta penerapan dalam ilmu
pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri serta karakter ilmu
pengetahuan itu sendiri.

Dalam ilmu-ilmu sosial manakala suatu teori yang didasarkan pada suatu
hasil penelitian ilmiah yang mendasarkan pada metode kuantitatif yang mengkaji
manusia dan masyarakat berdasarkan pada sifat-sifat yang parsial, terukur,
korelatif dan positivistik, maka hasil dari ilmu pengetahuan tersebut secara
epistemologis hanya mengkaji satu aspek saja dari obyek ilmu pengetahuan
yaitu manusia.

Dalam masalah yang populer istilah paradigma berkembang menjadi
terminologi yang mengandung konotasi pengertian sumber nilai, kerangka pikir,
orientasi dasar, sumber asas serta tujuan dari suatu perkembangan, perubahan
serta proses dari suatu bidang tertentu termasuk dalam bidang pembangunan,
reformasi maupun dalam pendidikan.

B. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan
Tujuan negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 adalah
sebagai berikut “Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia” hal ini merupakan tujuan negara hukum formal, adapun rumusan
“Memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa” hal ini
merupakan tujuan negara hukum material, yang secara keseluruhan sebagai
tujuan khusus atau nasional. Adapun tujuan umum atau internasional adalah
“ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Secara filosofis hakikat kedudukan Pancasila sebagai paradigma
pembangunan nasional mengandung suatu konsekuensi bahwa dalam segala
aspek pembangunan nasional kita harus mendasarkan pada hakikat nilai-nilai
Pancasila. Karena nilai-nilai Pancasila mendasarkan diri pada dasar ontologis
manusia sebagai subyek pendukung Pancasila sekaligus sebagai subyek
pendukung negara. Unsur-unsur hakikat manusia “monopluralis” meliputi
susunan kodrat manusia, terdiri rokhani (jiwa) dan jasmani (raga), sifat kodrat
manusia terdiri makhluk individu dan makhluk sosial serta kedudukan kodrat
manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan makhluk Tuhan YME.

1. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan IPTEK


Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi (Iptek) pada hakikatnya merupakan
suatu hasil kreativitas rohani manusia. Unsur rohani (jiwa) manusia meliputi
aspek akal, rasa, dan kehendak. Akal merupakan potensi rohaniah manusia
dalam hubungannya dengan intelektualitas, rasa dalam bidang estetis, dan
kehendak dalam bidang moral (etika).

Tujuan yang esensial dari Iptek adalah demi kesejahteraan umat
manusia, sehingga Iptek pada hakekatnya tidak bebas nilai namun terikat oleh
nilai. Pengembangan Iptek sebagai hasil budaya manusia harus didasarkan
pada moral Ketuhanan dan Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, mengkomplementasikan ilmu
pengetahuan, mencipta, keseimbangan antara rasional dan irasional, antara
akal, rasa dan kehendak. Berdasarkan sila ini Iptek tidak hanya memikirkan apa
yang ditemukan, dibuktikan dan diciptakan tetapi juga dipertimbangkan maksud
dan akibatnya apakah merugikan manusia dengan sekitarnya.

Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, memberikan dasar-dasar
moralitas bahwa manusia dalam mengembangkan Iptek harus bersifat beradab.
Iptek adalah sebagai hasil budaya manusia yang beradab dan bermoral.

Sila Persatuan Indonesia, mengkomplementasikan universalia dan
internasionalisme (kemanusiaan) dalam sila-sila yang lain. Pengembangan Iptek
hendaknya dapat mengembangkan rasa nasionalisme, kebesaran bangsa serta
keluhuran bangsa sebagai bagian dari umat manusia di dunia.

Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan mendasari pengembangan Iptek secara
demokratis. Artinya setiap ilmuwan harus memiliki kebebasan untuk
mengembangkan Iptek juga harus menghormati dan menghargai kebebasan
orang lain dan harus memiliki sikap yang terbuka untuk dikritik, dikaji ulang
maupun dibandingkan dengan penemuan ilmuwan lainnya.

Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
mengkomplementasikan pengembangan Iptek haruslah menjaga keseimbangan
keadilan dalam kehidupan kemanusiaan yaitu keseimbangan keadilan dalam
hubungannya dengan dirinya sendiri, manusia dengan Tuhannya, manusia
dengan manusia lainnya, manusia dengan masyarakat bangsa dan negara serta

manusia dengan alam lingkungannya.
2. Pancasila sebagai Paradigma
POLEKSOSBUDHANKAM
Hakikat manusia merupakan sumber nilai
POLEKSOSBUDHANKAM. Pembangunan hakikatnya
Pembangunan
bagi pengembangan
membangun manusia

secara lengkap, secara utuh meliputi seluruh unsur hakikat manusia
monopluralis, atau dengan kata lain membangun martabat manusia.

Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Bidang Politik

Pengembangan dan pembangunan bidang politik harus mendasarkan
pada tuntutan hak dasar kemanusiaan yang di dalam istilah ilmu hukum dan
kenegaraan disebut hak asasi manusia.

Dalam sistem politik negara harus mendasarkan pada kekuasaan yang
bersumber pada penjelmaan hakikat manusia sebagai individu – mahluk sosial
yang terjelma sebagai rakyat. Selain sistem politik negara Pancasila memberikan
dasar-dasar moralitas politik negara. Drs. Moh. Hatta, menyatakan bahwa
“negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa, atas dasar Kemanusiaan



yang adil dan beradab”. Hal ini menurutnya agar memberikan dasar-dasar moral
supaya negara tidak berdasarkan kekuasaan.

Dalam sila-sila Pancasila tersusun atas urut-urutan sistematis, bahwa
dalam politik negara harus mendasarkan pada kerakyatan (sila IV), adapun
pengembangan dan aktualisasi politik negara berdasarkan pada moralitas
berturut-turut moral ketuhanan, moral kemanusiaan (sila II) dan moral persatuan,
yaitu ikatan moralitas sebagai suatu bangsa (sila III). Adapun aktualisasi dan
pengembangan politik negara demi tercapainya keadilan dalam hidup bersama
(sila V).

Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ekonomi

Mubyarto mengembangkan ekonomi kerakyatan, yaitu ekonomi
humanistik yang mendasarkan pada tujuan demi kesejahteraan rakyat secara
luas. Maka sistem ekonomi Indonesia mendasarkan atas kekeluargaan seluruh
bangsa. Tujuan ekonomi itu sendiri adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia,
agar manusia menjadi lebih sejahtera. Ekonomi harus mendasarkan pada
kemanusiaan yaitu demi kesejahteraan manusia, sehingga harus menghindarkan
diri dari pengembangan ekonomi yang hanya mendasarkan persaingan bebas,
monopoli dan lainnya yang menimbulkan penderitaan pada manusia, penindasan
atas manusia satu dengan lainnya.

Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Sosial Budaya

Dalam pengembangan sosial budaya pada masa reformasi dewasa ini
kita harus mengangkat nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia sebagai dasar
nilai yaitu nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Prinsip etika Pancasila pada hakikatnya
bersifat humanistik, artinya nilai-nilai Pancasila mendasarkan pada nilai yang
bersumber pada harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang
berbudaya. Dalam rangka pengembangan sosial budaya, Pancasila sebagai
kerangka kesadaran yang dapat mendorong untuk universalisasi, yaitu
melepaskan simbol-simbol dari keterikatan struktur, dan transendentalisasi. yaitu
meningkatkan derajat kemerdekaan manusia, kebebasan spiritual.

Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Hankam

Pertahanan dan Keamanan negara harus mendasarkan pada tujuan demi
tercapainya kesejahteraan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha
Esa. Pertahanan dan Keamanan negara haruslah mendasarkan pada tujuan
demi kepentingan rakyat sebagai warga negara. Pertahanan dan keamanan
harus menjamin hak-hak dasar, persamaan derajat serta kebebasan
kemanusiaan dan Hankam diperuntukkan demi terwujudnya keadilan dalam
masyarakat agar negara benar-benar meletakkan pada fungsi yang sebenarnya
sebagai suatu negara hukum dan bukannya suatu negara yang berdasarkan
kekuasaan.

Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Kehidupan Beragama

Pancasila telah memberikan dasar-dasar nilai yang fundamental bagi
bangsa Indonesia untuk hidup secara damai dalam kehidupan beragama di
negara Indonesia. Dalam pengertian ini maka negara menegaskan dalam pokok
pikiran ke IV bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa “, ini
berarti bahwa kehidupan dalam negara mendasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan.



C. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi
Negara Indonesia ingin mengadakan suatu perubahan, yaitu menata
kembali kehidupan berbangsa dan bernegara demi terwujudnya masyarakat
madani yang sejahtera, masyarakat yang bermartabat kemanusiaan yang
menghargai hak-hak asasi manusia, masyarakat yang demokratis yang bermoral
religius serta masyarakat yang bermoral kemanusiaan dan beradab.

Pada hakikatnya reformasi adalah mengembalikan tatanan kenegaraan
kearah sumber nilai yang merupakan platform kehidupan bersama bangsa
Indonesia, yang selama ini diselewengkan demi kekuasaan sekelompok orang,
baik pada masa orde lama maupun orde baru. Proses reformasi walaupun dalam
lingkup pengertian reformasi total harus memiliki platform dan sumber nilai yang
jelas dan merupakan arah, tujuan, serta cita-cita yaitu nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila. Reformasi itu harus memiliki tujuan, dasar, cita-cita serta
platform yang jelas dan bagi bangsa Indonesia nilai-nilai Pancasila itulah yang
merupakan paradigma reformasi total tersebut.

1.
Gerakan Reformasi
Pelaksanaan GBHN 1998 pada Pembangunan Jangka Panjang II Pelita
ke tujuh bangsa Indonesia menghadapi bencana hebat, yaitu dampak krisis
ekonomi Asia terutama Asia Tenggara sehingga menyebabkan stabilitas politik
menjadi goyah.

Sistem politik dikembangkan kearah sistem “Birokratik Otoritarian” dan
suatu sistem “Korporatik”. Sistem ini ditandai dengan konsentrasi kekuasaan dan
partisipasi didalam pembuatan keputusan-keputusan nasional yang berada
hampir seluruhnya pada tangan penguasa negara, kelompok militer, kelompok
cerdik cendikiawan dan kelompok pengusaha oligopolistik dan bekerjasama
dengan mayarakat bisnis internasional.

Awal keberhasilan gerakan reformasi tersebut ditandai dengan
mundurnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, yang kemudian
disusul dengan dilantiknya Wakil Presiden Prof. Dr. B.J. Habibie menggantikan
kedudukan Presiden. Kemudian diikuti dengan pembentukan Kabinet Reformasi
Pembangunan. Pemerintahan Habibie inilah yang merupakan pemerintahan
transisi yang akan mengantarkan rakyat Indonesia untuk melakukan reformasi
secara menyeluruh, terutama perubahan paket UU politik tahun 1985, kemudian
diikuti dengan reformasi ekonomi yang menyangkut perlindungan hukum. Yang
lebih mendasar reformasi dilakukan pada kelembagaan tinggi dan tertinggi
negara yaitu pada susunan DPR dan MPR, yang dengan sendirinya harus
dilakukan melalui Pemilu secepatnya.

a.
Gerakan Reformasi dan Ideologi Pancasila
Arti Reformasi secara etimologis berasal dari kata reformation dengan
akar kata reform yang artinya “make or become better by removing or putting
right what is bad or wrong”. Secara harfiah reformasi memiliki arti suatu gerakan
untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal yang
menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai dengan
nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat. Oleh karena itu suatu gerakan
reformasi memiliki kondisi syarat-syarat sebagai berikut :

1.
Suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu penyimpanganpenyimpangan.
Misalnya pada masa orde baru, asas kekeluargaan menjadi


nepotisme, kolusi, dan korupsi yang tidak sesuai dengan makna dan
semangat UUD 1945.

2.
Suatu gerakan reformasi dilakukan harus dengan suatu cita-cita yang jelas
(landasan ideologis) tertentu. Dalam hal ini Pancasila sebagai ideologi
bangsa dan negara Indonesia.
3.
Suatu gerakan reformasi dilakukan dengan berdasarkan pada suatu
kerangka struktural tertentu (dalam hal ini UUD) sebagai kerangka acuan
reformasi.
4.
Reformasi dilakukan ke arah suatu perubahan kondisi serta keadaan yang
lebih baik dalam segala aspek antara lain bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya, serta kehidupan keagamaan.
5.
Reformasi dilakukan dengan suatu dasar moral dan etika sebagai manusia
yang berketuhanan yang maha esa, serta terjaminnya persatuan dan
kesatuan bangsa.
b. Pancasila sebagai Dasar Cita-cita Reformasi
Menurut Hamengkubuwono X, gerakan reformasi harus tetap diletakkan
dalam kerangka perspektif Pancasila sebagai landasan cita-cita dan ideologi
sebab tanpa adanya suatu dasar nilai yang jelas maka suatu reformasi akan
mengarah pada suatu disintegrasi, anarkisme,brutalisme pada akhirnya menuju
pada kehancuran bangsa dan negara Indonesia. Maka reformasi dalam
perspektif Pancasila pada hakikatnya harus berdasarkan pada nilai-nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, Berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.

Pancasila sebagai sumber nilai memiliki sifat yang reformatif artinya
memiliki aspek pelaksanaan yang senantiasa mampu menyesuaikan dengan
dinamika aspirasi rakyat. Dalam mengantisipasi perkembangan jaman yaitu
dengan jalan menata kembali kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tidak sesuai
dengan aspirasi rakyat.

2. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Hukum
Setelah peristiwa 21 Mei 1998 saat runtuhnya kekuasaan orde baru,
salah satu subsistem yang mengalami kerusakan parah adalah bidang hukum.
Produk hukum baik materi maupun penegaknya dirasakan semakin menjauh dari
nilai-nilai kemanusiaan, kerakyatan serta keadilan.

Kerusakan atas subsistem hukum yang sangat menentukan dalam
berbagai bidang misalnya, politik, ekonomi dan bidang lainnya maka bangsa
Indonesia ingin melakukan suatu reformasi, menata kembali subsistem yang
mengalami kerusakan tersebut.

Pancasila sebagai Sumber Nilai Perubahan Hukum

Dalam negara terdapat suatu dasar fundamental atau pokok kaidah yang
merupakan sumber hukum positif yang dalam ilmu hukum tata negara disebut
staatsfundamental, di Indonesia tidak lain adalah Pancasila.

Hukum berfungsi sebagai pelayanan kebutuhan masyarakat, maka
hukum harus selalu diperbarui agar aktual atau sesuai dengan keadaan serta
kebutuhan masyarakat yang dilayani dan dalam pembaruan hukum yang terus




menerus tersebut Pancasila harus tetap sebagai kerangka berpikir, sumber
norma, dan sumber nilai.

Sebagai cita-cita hukum, Pancasila dapat memenuhi fungsi konstitutif
maupun fungsi regulatif. Dengan fungsi regulatif Pancasila menentukan dasar
suatu tata hukum yang memberi arti dan makna bagi hukum itu sendiri sehingga
tanpa dasar yang diberikan oleh Pancasila maka hukum akan kehilangan arti
dan maknanya sebagai hukum itu sendiri. Fungsi regulatif Pancasila menentukan
apakah suatu hukum positif sebagai produk yang adil ataukah tidak adil. Sebagai
staatfundamentalnorm, Pancasila merupakan pangkal tolak derivasi (sumber
penjabaran) dari tertib hukum di Indonesia termasuk UUD 1945. Dalam
pengertian inilah menurut istilah ilmu hukum disebut sebagai sumber dari segala
peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Sumber hukum meliputi dua macam pengertian, sumber hukum formal
yaitu sumber hukum ditinjau dari bentuk dan tata cara penyusunan hukum, yang
mengikat terhadap komunitasnya, misalnya UU, Peraturan Menteri, Peraturan
Daerah. Sumber hukum material yaitu suatu sumber hukum yang menentukan
materi atau isi suatu norma hukum.

Jika terjadi ketidakserasian atau pertentangan satu norma hukum dengan
norma hukum lainnya yang secara hierarkis lebih tinggi apalagi dengan
Pancasila sebagai sumbernya, berarti terjadi inkonstitusionalitas
(unconstitutionality) dan ketidak legalan (illegality) dan karenanya norma hukum
yang lebih rendah itu batal demi hukum.

Dengan demikian maka upaya untuk reformasi hukum akan benar-benar
mampu mengantarkan manusia ketingkat harkat dan martabat yang lebih tinggi
sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab.

Dasar Yuridis Reformasi Hukum

Reformasi total sering disalah artikan sebagai dapat melakukan
perubahan dalam bidang apapun dengan jalan apapun. Jika demikian maka kita
akan menjadi bangsa yang tidak beradab, tidak berbudaya, masyarakat tanpa
hukum, yang menurut Hobbes disebut keadaan “homo homini lupus”, manusia
akan menjadi serigala manusia lainnya dan hukum yang berlaku adalah hukum
rimba.

UUD 1945 beberapa pasalnya dalam praktek penyelenggaraan negara
bersifat multi interpretable (penafsiran ganda), dan memberikan porsi kekuasaan
yang sangat besar kepada presiden (executive heavy). Akibatnya memberikan
kontribusi atas terjadinya krisis politik serta mandulnya fungsi hukum dalam
negara RI.

Berdasarkan isi yang terkandung dalam Penjelasan UUD 1945,
Pembukaan UUD 1945 menciptakan pokok-pokok pikiran yang dijabarkan dalam
pasal-pasal UUD 1945 secara normatif. Pokok-pokok pikiran tersebut merupakan
suasana kebatinan dari UUD dan merupakan cita-cita hukum yang menguasai
baik hukum dasar tertulis (UUD 1945) maupun hukum dasar tidak tertulis
(Convensi).

Selain itu dasar yuridis Pancasila sebagai paradigma reformasi hukum
adalah Tap MPRS No.XX/MPRS/1966 yang menyatakan bahwa Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, yang berarti sebagai
sumber produk serta proses penegakan hukum yang harus senantiasa
bersumber pada nilai-nilai Pancasila dan secara eksplisit dirinci tata urutan
peraturan perundang-undangan di Indonesia yang bersumber pada nilai-nilai
Pancasila.



Berbagai macam produk peraturan perundang-undangan yang telah
dihasilkan dalam reformasi hukum antara lain :

-UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik

-UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu

-UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR

dan DPRD

-UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

-UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Daerah

-UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang

Bersih dan Bebas dari KKN.

Pada tingkatan Ketetapan MPR telah dilakukan reformasi hukum melalui
Sidang Istimewa MPR pada bulan Nopember 1998 yang menghasilkan
ketetapan-ketetapan:

-Tap No. VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Referendum

-Tap No. IX/MPR/1998 tentang GBHN

-Tap No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan

-Tap No. XI/MPR/1998 tentang Negara bebas KKN

-Tap No. XII/MPR/1998 tentang Masa jabatan Presiden

-Tap No. XIV/MPR/1998 tentang Pemilu 1999

-Tap No. XV/MPR/1998 tentang Otonomi Daerah dan Perimbangan

Keuangan Pusat dan Daerah

-Tap No. XVI/MPR/1998 tentang Demokrasi Ekonomi

-Tap No. XVII/MPR.1998 tentang Hak asasi Manusia

-Tap No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan P4.

Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Pelaksanaan Hukum

Dalam era reformasi pelaksanaan hukum harus didasarkan pada suatu
nilai sebagai landasan operasionalnya. Reformasi pada dasarnya untuk
mengembalikan hakikat dan fungsi negara pada tujuan semula yaitu melindungi
seluruh bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Negara pada hakikatnya
secara formal harus melindungi hak-hak warganya terutama hak kodrat sebagai
suatu hak asasi yang merupakan karunia Tuhan YME. Oleh karena itu
pelanggaran terhadap hak asasi manusia adalah sebagai pengingkaran terhadap
dasar filosofis negara misalnya pembungkaman demokrasi, penculikan,
pembatasan berpendapat berserikat, berunjuk rasa dan lain sebagainya.

Pelaksanaan hukum pada masa reformasi harus benar-benar dapat
mewujudkan negara demokrasi dengan suatu supremasi hukum. Artinya
pelaksanaan hukum harus mampu mewujudkan jaminan atas terwujudnya
keadilan (sila V) dalam suatu negara yaitu keseimbangan antara hak dan
kewajiban bagi setiap warga negara tidak memandang pangkat, jabatan,
golongan, etnisitas maupun agama. Setiap warga negara bersamaan
kedudukannya di muka hukum dan pemerintah (pasal 27 UUD 1945). Jaminan
atas terwujudnya keadilan bagi setiap warga negara dalam hidup bersama dalam
suatu negara yang meliputi seluruh unsur keadilan baik keadilan distributif,
keadilan komulatif, serta keadilan legal. Konsekuensinya dalam pelaksanaan
hukum aparat penegak hukum terutama pihak kejaksaan adalah sebagai ujung
tombaknya sehingga harus benar-benar bersih dari praktek KKN.

3.Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Politik



Landasan aksiologis (sumber nilai) sistem politik Indonesia adalah dalam
Pembukaan UUD 1945 alinea IV yang berbunyi “……maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar
Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang Berkedaulatan Rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan
Kerakyatan yang Dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Jika dikaitkan dengan makna alinea II tentang cita-cita negara dan
kemerdekaan yaitu demokrasi (bebas, bersatu, berdaulat, adil dan makmur).
Dasar politik ini menunjukkan kepada kita bahwa bentuk dan bangunan
kehidupan masyarakat yang bersatu (sila III), demokrasi (sila IV), berkeadilan
dan berkemakmuran (sila V) serta negara yang memiliki dasar-dasar moral
ketuhanan dan kemanusiaan.

Nilai demokrasi politik sebagaimana terkandung dalam Pancasila sebagai
fondasi bangunan negara yang dikehendaki oleh para pendiri negara kita dalam
kenyataannya tidak dilaksanakan berdasarkan suasana kerokhanian
berdasarkan nilai-nilai tersebut. Berdasarkan semangat dari UUD 1945 esensi
demokrasi adalah :

1.
Rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara.
2.
Kedaulatan rakyat dijalankan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
3.
Presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat dan karenanya harus tunduk dan bertanggungjawab kepada
MPR.
4.
Produk hukum apapun yang dihasilkan oleh Presiden, baik sendiri
maupun bersama-sama lembaga lain kekuatannya berada di bawah
Majelis Permusyawatan Rakyat atau produk-produknya
Prinsip-prinsip demokrasi tersebut bilamana kita kembalikan pada nilai
esensial yang terkandung dalam Pancasila maka kedaulatan tertinggi negara
adalah di tangan rakyat. Rakyat adalah asal mula kekuasaan negara, oleh
karena itu paradigma ini harus merupakan dasar pijakan dalam reformasi.

Reformasi kehidupan politik juga dilakukan dengan meletakkan cita-cita
kehidupan kenegaraan dan kebangsaan dalam suatu kesatuan waktu yaitu nilai
masa lalu, masa kini dan kehidupan masa yang akan datang. Atas dasar inilah
maka pertimbangan realistik sebagai unsur yang sangat penting yaitu dinamika
kehidupan masyarakat, aspirasi serta tuntutan masyarakat yang senantiasa
berkembang untuk menjamin tumbuh berkembangnya demokrasi di negara
Indonesia. karena faktor penting demokrasi dalam suatu negara adalah
partisipasi dari seluruh warganya. Dengan sendirinya kesemuanya ini harus
diletakkan dalam kerangka nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri
sebagai filsafat hidupnya yaitu nilai-nilai Pancasila.

4. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Ekonomi
Kebijaksanaan yang selama ini diterapkan hanya mendasarkan pada
pertumbuhan dan mengabaikan prinsip nilai kesejahteraan bersama seluruh
bangsa, dalam kenyataannya hanya menyentuh kesejahteraan sekelompok kecil
orang bahkan penguasa. Pada era ekonomi global dewasa ini dalam
kenyataannya tidak mampu bertahan. Krisis ekonomi yang terjadi di dunia dan



melanda Indonesia mengakibatkan ekonomi Indonesia terpuruk, sehingga
kepailitan yang diderita oleh para pengusaha harus ditanggung oleh rakyat.

Dalam kenyataannya sektor ekonomi yang justru mampu bertahan pada
masa krisis dewasa ini adalah ekonomi kerakyatan, yaitu ekonomi yang berbasis
pada usaha rakyat. Oleh karena itu subsidi yang luar biasa banyaknya pada
kebijaksanaan masa orde baru hanya dinikmati oleh sebagian kecil orang yaitu
sekelompok konglomerat, sedangkan bilamana mengalami kebangkrutan seperti
saat ini rakyatlah yang banyak dirugikan. Oleh karena itu rekapitalisasi
pengusaha pada masa krisis dewasa ini sama halnya dengan rakyat banyak
membantu pengusaha yang sedang terpuruk.

Langkah yang strategis dalam upaya melakukan reformasi ekonomi yang
berbasis pada ekonomi rakyat yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila yang
mengutamakan kesejahteraan seluruh bangsa adalah sebagai berikut :

1.
Keamanan pangan dan mengembalikan kepercayaan, yaitu dilakukan
dengan program “social safety net” yang popular dengan program Jaring
Pengaman Sosial (JPS). Sementara untuk mengembalikan kepercayaan
rakyat terhadap pemerintah, maka pemerintah harus secara konsisten
menghapuskan KKN, serta mengadili bagi oknum pemerintah masa orde
baru yang melakukan pelanggaran. Hal ini akan memberikan kepercayaan
dan kepastian usaha.
2.
Program rehabilitasi dan pemulihan ekonomi. Upaya ini dilakukan dengan
menciptakan kondisi kepastian usaha, yaitu dengan diwujudkan perlindungan
hukum serta undang-undang persaingan yang sehat. Untuk itu pembenahan
dan penyehatan dalam sektor perbankan menjadi prioritas utama, karena
perbankan merupakan jantung perekonomian.
3.
Transformasi struktur, yaitu guna memperkuat ekonomi rakyat maka perlu
diciptakan sistem untuk mendorong percepatan perubahan struktural
(structural transformation). Transformasi struktural ini meliputi proses
perubahan dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern, dari ekonomi lemah
ke ekonomi yang tangguh, dari ekonomi subsistem ke ekonomi pasar, dari
ketergantungan kepada kemandirian, dari orientasi dalam negeri ke orientasi
ekspor.
Dengan sendirinya intervensi birokrat pemerintahan yang ikut dalam
proses ekonomi melalui monopoli demi kepentingan pribadi harus segera
diakhiri. Dengan sistem ekonomi yang mendasarkan nilai pada upaya
terwujudnya kesejahteraan seluruh bangsa maka peningkatan kesejahteraan
akan dirasakan oleh sebagian besar rakyat, sehingga dapat mengurangi
kesenjangan ekonomi.

D. Aktualisasi Pancasila
Aktualisasi Pancasila dapat dibedakan atas dua macam yaitu aktualisasi
obyektif dan subyektif. Aktualisasi Pancasila obyektif yaitu aktualisasi Pancasila
dalam berbagai bidang kehidupan kenegaraan yang meliputi kelembagaan
negara antara lain legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Selain itu juga meliputi
bidang-bidang aktualisasi lainnya seperti politik, ekonomi, hukum terutama dalam
penjabaran ke dalam undang-undang, GBHN, pertahanan keamanan,
pendidikan maupun bidang kenegaraan lainnya. Adapun aktualisasi Pancasila
subyektif adalah aktualisasi Pancasila pada setiap individu terutama dalam
aspek moral dalam kaitannya dengan hidup negara dan masyarakat. Aktualisasi
yang subyektif tersebut tidak terkecuali baik warga negara biasa, aparat
penyelenggara negara, penguasa negara, terutama kalangan elit politik dalam



kegiatan politik perlu mawas diri agar memiliki moral Ketuhanan dan
Kemanusiaan sebagaimana terkandung dalam Pancasila.

E. Tridharma Perguruan Tinggi
Pendidikan Tinggi sebagai institusi dalam masyarakat bukanlah
merupakan menara gading yang jauh dari kepentingan masyarakat melainkan
senantiasa mengemban dan mengabdi kepada masyarakat. Menurut PP No. 60
Th. 1999, perguruan tinggi memiliki tiga tugas pokok yang disebut Tridharma
Perguruan Tinggi, yang meliputi :

1.
Pendidikan Tinggi
Lembaga pendidikan tinggi memiliki tugas melaksanakan pendidikan
untuk menyiapkan, membentuk dan menghasilkan sumber daya yang
berkualitas. Tugas pendidikan tinggi adalah :

a.
Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki
kemampuan akademik dan atau profesional yang dapat menerapkan,
mengembangkan dan atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan,
teknologi dan kesenian.
b.
Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi
dan kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk
meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya
kebudayaan nasional.
Pengembangan ilmu di perguruan tinggi bukanlah value free
(bebas nilai), melainkan senantiasa terikat nilai yaitu nilai ketuhahan dan
kemanusiaan. Oleh karena itu pendidikan tinggi haruslah menghasilkan ilmuwan,
intelektual serta pakar yang bermoral ketuhanan yang mengabdi pada
kemanusiaan.

2.
Penelitian
Penelitian adalah suatu kegiatan telaah yang taat kaidah, bersifat obyektif
dalam upaya untuk menemukan kebenaran dan menyelesaikan masalah dalam
ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian.

Dalam suatu kegiatan penelitian seluruh unsur dalam penelitian
senantiasa mendasarkan pada suatu paradigma tertentu, baik permasalahan,
hipotesis, landasan teori maupun metode yang dikembangkannya. Dalam
khasanah ilmu pengetahuan terdapat berbagai macam bidang ilmu pengetahuan
yang masing-masing memiliki karakteristik sendiri-sendiri, karena paradigma
yang berbeda. Bahkan dalam suatu bidang ilmu terutama ilmu sosial, antropologi
dan politik terdapat beberapa pendekatan dengan paradigma yang berbeda,
misalnya pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif.

Dasar-dasar nilai dalam Pancasila menjiwai moral peneliti sehingga suatu
penelitian harus bersifat obyektif dan ilmiah. Seorang peneliti harus berpegangan
pada moral kejujuran yang bersumber pada ketuhanan dan kemanusiaan. Suatu
hasil penelitian tidak boleh karena motivasi uang, kekuasaan, ambisi atau
bahkan kepentingan primordial tertentu. Selain itu asas manfaat penelitian harus
demi kesejahteraan umat manusia, sehingga dengan demikian suatu kegiatan
penelitian senantiasa harus diperhitungkan manfaatnya bagi masyarakat luas
serta peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan.

3.
Pengabdian kepada Masyarakat


Pengabdian kepada masyarakat adalah suatu kegiatan yang
memanfaatkan ilmu pengetahuan dalam upaya memberikan sumbangan demi
kemajuan masyarakat.

Realisasi pengabdian kepada masyarakat dengan sendirinya disesuaikan
dengan ciri khas, sifat serta karakteristik bidang ilmu yang dikembangkan oleh
perguruan tinggi yang bersangkutan. Aktualisasi pengabdian kepada masyarakat
ini pada hakikatnya merupakan suatu aktualisasi pengembangan ilmu
pengetahuan demi kesejahteraan umat manusia. Kegiatan pengabdian kepada
masyarakat sebenarnya merupakan suatu aktualisasi kegiatan masyarakat
ilmiah perguruan tinggi yang dijiwai oleh nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan
sebagaimana terkandung dalam Pancasila.

F. Budaya Akademik
Warga dari suatu perguruan tinggi adalah insan-insan yang memiliki
wawasan dan integritas ilmiah. Oleh karena itu masyarakat akademik harus
senantiasa mengembangkan budaya ilmiah yang merupakan esensi pokok dari
aktivitas perguruan tinggi. Terdapat sejumlah ciri masyarakat ilmiah sebagai
budaya akademik sebagai berikut :

a. Kritis, senantiasa mengembangkan sikap ingin tahu segala sesuatu untuk
selanjutnya diupayakan jawaban dan pemecahannya melalui suatu kegiatan
ilmiah penelitian.
b. Kreatif, senantiasa mengembangkan sikap inovatif, berupaya untuk
menemukan sesuatu yang baru dan bermanfaat bagi masyarakat.
c. Obyektif, kegiatan ilmiah yang dilakukan harus benar-benar berdasarkan
pada suatu kebenaran ilmiah, bukan karena kekuasaan, uang atau ambisi
pribadi.
b. Analitis, suatu kegiatan ilmiah harus dilakukan dengan suatu metode ilmiah
yang merupakan suatu prasyarat untuk tercapainya suatu kebenaran ilmiah.
c. Konstruktif, harus benar-benar mampu mewujudkan suatu karya baru yang
memberikan asas kemanfaatan bagi masyarakat.
d. Dinamis, ciri ilmiah sebagai budaya akademik harus dikembangkan terusmenerus.
e. Dialogis, dalam proses transformasi ilmu pengetahuan dalam masyarakat
akademik harus memberikan ruang pada peserta didik untuk
mengembangkan diri, melakukan kritik serta mendiskusikannya.
f. Menerima kritik, sebagai suatu konsekuensi suasana dialogis yaitu setiap
insan akademik senantiasa bersifat terbuka terhadap kritik.
i. Menghargai prestasi ilmiah/akademik, masyarakat intelektual akademik
harus menghargai prestasi akademik, yaitu prestasi dari suatu kegiatan
ilmiah.
a. Bebas dari prasangka, budaya akademik harus mengembangkan moralitas
ilmiah yaitu harus mendasarkan kebenaran pada suatu kebenaran ilmiah.
b. Menghargai waktu, senantiasa memanfaatkan waktu seefektif dan seefisien
mungkin, terutama demi kegiatan ilmiah dan prestasi.
c. Memiliki dan menjunjung tinggi tradisi ilmiah, memiliki karakter ilmiah
sebagai inti pokok budaya akademik
d. Berorientasi ke masa depan, mampu mengantisipasi suatu kegiatan ilmiah
ke masa depan dengan suatu perhitungan yang cermat, realistis dan
rasional.
e. Kesejawatan/kemitraan, memiliki rasa persaudaraan yang kuat untuk
mewujudkan suatu kerja sama yang baik. Oleh karena itu budaya akademik



senantiasa memegang dan menghargai tradisi almamater sebagai suatu
tanggung jawab moral masyarakat intelektual akademik.

G. Kampus sebagai Moral Force Pengembangan Hukum dan HAM
Masyarakat kampus wajib senantiasa bertanggung jawab secara moral
atas kebenaran obyektif, tanggung jawab terhadap masyarakat bangsa dan
negara, serta mengabdi kepada kesejahteraan kemanusiaan. Oleh karena itu
sikap masyarakat kampus tidak boleh tercemar oleh kepentingan politik
penguasa sehingga benar-benar luhur dan mulia. Oleh karena itu dasar pijak
kebenaran masyarakat kampus adalah kebenaran yang bersumber pada
ketuhanan dan kemanusiaan.

Indonesia dalam melaksanakan reformasi dewasa ini, agenda yang
mendesak untuk diwujudkan adalah reformasi dalam bidang hukum dan
peraturan perundang-undangan. Negara Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas hukum, oleh karena itu dalam rangka melakukan penataan
negara untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis maka harus
menegakkan supremasi hukum. Agenda reformasi yang pokok segera
direalisasikan adalah untuk melakukan reformasi dalam bidang hukum.
Konsekuensinya dalam mewujudkan suatu tatanan hukum yang demokratis,
maka harus dilakukan pengembangan hukum positif.

Dalam reformasi bidang hukum, bangsa Indonesia telah mewujudkan
Undang-undang Hak Asasi Manusia yaitu UU No. 39 Th.1999. Sebagaimana
terkandung dalam konsideran bahwa yang dimaksud Hak asasi Manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Disamping hak asasi manusia, undang-undang ini juga menentukan Kewajiban
Dasar Manusia, yaitu seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan,
tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.

Dalam penegakan hak asasi manusia tersebut mahasiswa sebagai
kekuatan moral harus bersifat obyektif dan benar-benar berdasarkan kebenaran
moral demi harkat dan martabat manusia, bukan karena kepentingan politik
terutama kepentingan kekuatan politik dan konspirasi kekuatan internasional
yang ingin menghancurkan negara Indonesia. Perlu disadari bahwa dalam
menegakkan hak asasi manusia pelanggaran terhadap hak asasi manusia dapat
dilakukan oleh seseorang, kelompok orang termasuk aparat negara, penguasa
negara baik disengaja maupun tidak disengaja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar